Pages

Monday, February 1, 2010

Pandangan Pengertian Islam dan Madzhab-Madzhabnya

Sebelum membahas lebih jauh tentang islam ada baiknya kita dapat mengenal definisi dari islam itu sendiri. Islam (Arab: al-islām, مالسإلا: "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) atau Tauhid kitabiyyah yang berdasarkan pada wahyu illahi dan kitab suci serta termasuk dalam golongan agama Ibrahim sama halnya dengan agama Yahudi & Kristen. Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut islam di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: هللا, Allāh). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Allah", atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.

Kata Islam juga merupakan penyataan kata nama yang berasal dari akar triliteral s-l-m, dan didapat dari Kata kerja bahasa Arab Salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai, Al-Qur’an mengatakan dalam surat Al-Anfal ayat 61 yang artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakalah kepada Allah…” Dari kata salima tersebut selanjutnya diubah menjadi Aslama, yaitu berarti "untuk menerima, menyerah atau tunduk." Dengan demikian, Islam berarti menerima dan tunduk serta berserah diri kepada Allah , dan penganutnya harus menunjukkan ini dengan menyembah-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menghindari politheisme. Perkataan ini memberikan beberapa maksud dari al-Qur’an. Dalam beberapa ayat, kualitas Islam sebagai kepercayaan ditegaskan: "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam... (QS. Al-An’am: 125)"

Ayat lain menghubungkan Islām dan dīn (lazimnya diterjemahkan sebagai "agama"): "...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu… (QS. Al-Maidah: 3)"

Secara etimologis kata Islam diturunkan dari akar yang sama dengan kata salām yang berarti “damai”. Kata 'Muslim' (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām, kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah" dalam bahasa Indonesia.

Dari Uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kata islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat dan berserah diri kepada Allah dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagian baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan fitrah dirinya sendiri. Sebagaiman firman Allah yang mengatakan : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…(QS Al-Baqarah: 256)”

Berdasarkan ketentuannya sumber ajaran Islam berpedoman pada dua hal yang utama adalah Al-Qur’an dan kemudian Al-Sunnah. Ketentuan ini sesuia dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu dari Allah SWT, yang penjabarannya dilakukan melalui Nabi Muhamad SAW.

Madzhab dalam islam adalah salah satu pedoman dan panutan kita dalam beribadah. Karena dalam beribadah harus ada panutan yang jelas. Panutan yang benar tentunya adalah Rosulallah SAW. Namun kita tidak mungkin langsung berhujjah pada Rosul karena jarak yang sekian lama. maka di perlukan satu pedoman yang ahli dalam hadist, quran dan beberapa hal yang lain. Dari sinilah di perlukan madzhab, maka kini islam sendiri terbagi dalam 2 aliran/ golongan yang besar yakni Islam Sunni dan Syi’ah. Islam Sunni memiliki beberapa faham yang berbeda-beda yang diantaranya adalah dari kelompok imam Hambali, Maliki, Hanafi, dan syafi’i sedangkan pada Islam Syi’ah memiliki faham yang bersumber pada Islamiyah, Zaidiyah, dan Imam dua belas. Akan tetapi sebenarnya islam juga masih memiliki beberap golongan lainnya seperti Ibadi, Khawarij, Murji'ah, dan Mu'taziliyah, Adz-Dzahiri

Adapun ruang lingkupnya yang akan saya dibahas disini adalah tentang Islam Suni beserta keempat Imamnya:

1. Madzhab Hanafi

Madzhab Hanafi lahir dibidani oleh Abu Hanifah an-Nu’man. Basis awal madzhab Hanafi ini ada di Irak, tepatnya di Kufah. Oleh karena Kufah merupakan pusat kelompok ahlu ar-ra’yi maka pola pemikiran Abu Hanifah pun sangat kental dengan nuansa rasionalitas. Terlebih lagi, bahwa Abu Hanifah belajar kepada Hammad, dan Hammad belajar kepada Ibrahim an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. An-Nakha’i adalah pencetus ahl ar-ra’yi dan asy-sya’bi pun pernah belajar kepada ahl ar-ra’yi meskipun tidak menyatakan diri sebagai ahl ar-ra’yi.

Dasar ijtihad Abu Hanifah secara garis besar adalah, 1)al-Qur’an, 2) Hadis sahih, 3) Qaul Shahabat, 4) ijtihad (Mubarok,2002: 75). Di dalam riwayat lain disebutkan sumber ijtihad Abu Hanifah yang lain, yaitu; ijma’, qiyas, istihsan dan urf (Hanafi, 1995:151) Dua pendapat itu tidak perlu dipertentangkan, tetapi bisa difahami bahwa cara berijtihadnya Abu Hanifah adalah dengan mempertimbangkan qaul shahabat, qiyas, istihsan dan Urf. Khusus Masalah hadis, Abu Hanifah sangat selektif dalam mengambilnya, bahkan dia terkesan lebih mengutamakan ijtihad daripada hadis yang membutuhkan kajian bertele-tele.

Sedangkan beberapa hal yang menjadi prosedur pokok dalam ijtihad Abu Hanifah adalah; 1) Dilalah yang ‘am bersifat qath’i. 2) qaul shahaby yang tidak sejalan dengan kondisi umum dianggap kondisi khusus. 3) banyaknya sanad bukan berarti sahih, 4) Menolak mafhum syarat dan mafhum shifat. 5) mendahulukan qiyas jali atas khabar yang bertentangkan, 6) menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas jika diperlukan, (Mubarok,2002:75).

Dengan melihat prosedur ijtihad itu semakin nyata sikap Abu Hanifah yang lebih mengajukan rasio daripada riwayat, karena Abu Hanifah mengutamakan qiyas daripada khabar, meninggalkan qaul shahaby karena dianggap sebagai sesuatu yang khusus sehingga lebih mengedepankan ra’yu beliau, bahkan meninggalkan pola analog dengan mempertimbangkan kebaikan (istihsan).

Beberapa contoh pemikiran fiqh madzhab hanafi adalah:

- Bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudlu, alasannya bahwa kata lamasa pada firman Allah “au lamastum an-nisa’” tidak bisa dimaknai secara hakiki, tetapi ayat itu dimaknai secara kinayah (sindiran). Lamasa di sana artinya adalah jima’ (bersetubuh). (Shabuni,tth:I/487-488)

- Shalat gerhana dilakukan dengan dua rekaat seperti shalad ‘id, tidak dengan dua kali ruku’ ada setiap rekaatnya (Mubarak,2000:76)

2. Madzhab Maliki

Madzhab Maliki dibangun oleh Malik bin Anas bin Abu Amar al-Ashbahi, tinggal di Madinah. Beliau adalah seoramh yang ahli dalam ilmu fiqh, dan juga hadis. Kitab hadis yang beliau tulisa sangat terkenal, yaitu al-Muwaththo’ Imam Malik. Beliau pernah belajar dan diskusi dalam masalah-masalah agama dengan Abu Hanifah, ketika Abu Hanifah menghindarkan diri dari kejaran dinasti Amawiyah (Ibrahim,1991:82). Tetapi guru yang terutama bagi Imam malik dalam pengembangan fiqh adalah Rabi’ah bin Abdurrahman, yang lebih dikenal dengan Rabi’ah ar-Ra’y, karena ia seorang ulama’ ahl ar-Ra’y.

Meskipun Malik belajar banyak dari tokoh-tokoh ahl ar-ra’y namun beliau sendiri justru menjadi ahl al-hadis. Tidak lain karena beliau juga intens belajar hadis dari tokoh sekelas az-Zuhri, Nafi’ Maula Ibn Umar, dan Abdurrahman bin hurmuz (Mubarok,2002:79) sehingga membuahkan satu kitab hadis yang sangat baik, yaitu al-Muwaththa’. Kitab ini disusun dengan sistematika yang sesuai dengan kajian fiqh, sehingga selain sebagai kitab hadis ia juga mencerminkan pemikiran fiqh Imam Malik.

Dasar madzhab Maliki ini adalah Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, qiyas, amalu ahl al-Madinah (perbuatan penduduk Madinah), dan Mashalih al-Mursalah (Shiddieqy,1991:117). Dalam memahami al-Qur’an Imam Malik menggunakan langkah-langkah yang disebut dengan Ushul al-Khamsah, yaitu; 1) Mengambil dari al-Qur’an, 2) Menggunakan lafadz umum (dhahir al-Qur’an), 3) Dalil al-Qur’an (mafhum muwafaqah), 4) Mafhum al-Qur’an (mafhum mukhalafah), 5) Tanbih al-Qur’an (memperhatikan illatnya). (Mubarak, 2002:81)

Qiyas yang diqunakan oleh Imam Malik merupakan hasil elaborasi antara tradisi hadis yang diikutinya dengan wacana pemikiran ra’yu yang beliau kenal. Tentunya, porsi qiyas ini tidak seperti halnya Abu Hanifah memposisikan dalam metode istinbathnya. Bahkan bisa dikatakan hanya ada satu atau dua kali saja Malik menggunakan qiyas dalam berijtihad.

Perbuatan penduduk madinah oleh Imam Malik lebih didahulukan atas hadis ahad, atau qaul shahaby dengan asumsi bahwa tradisi yang ada di Madinah dalam suatu aktifitas fiqhi telah dibangun oleh Rasulullah saw, meskipun tidak disabdakan. Karena itulah ia laak didahulukan dibandingkan pendapat pribadi seorang shahabat.

Di antara pendapat Malik dalam fiqh adalah:

- Shalat Gerhana dilakukan dua rekaat dengan setiap rekaat dua kali ruku’, tidak seperti pendapat Abu Hanifah (Mubarak,2000:99)

- Bacaan fatihah di dalam shalat tidak perlu membaca basmalah, sebab hadis yang menyebutkan nilai bacaan al-Fatihah tidak diawali dengan basmalah . Hal itu bisa difahami pula bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-Fatihah (Shabuni,tth:I/39-53)

3. Madzhab Hanbali

Madzhab ini dibangun oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H. Beliau dikenal sebagai ahli hadis, dan memiliki kitab hadis yang sangat terkenal, yaitu al-Musnad. Beliau pernah belajar ke berbagai daerah seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Syam dan Yaman. Dalam bidang Fiqh beliau belajar kepada Imam Syafi’I dan juga Abu Yusuf.

Fenomena Ahmad bin Hanbal ini sangat unik karena di tengah wilayah yang mayoritas penduduknya pengikut ahl-ar-ra’yi justru Ahmad bin Hanbal menjadi pengikut ahl al-hadis yang sangat ketat. Hal ini disebabkan karena perhatiannya dan penjiwaannya terhadap hadis yang demikian kuat, maka meskipun beliau hidup di lingkungan ahl ar-ra’yi corak pemikiran fiqhnya mengikuti pola ahl al-hadis. Bahkan pemikiran fiqh Ahmad ini jauh lebih kental ke arah hadis daripada Malik yang hidup di Madinah. Karena itulah sebagian ulama’ seperti ath-Thabari, Ibnu Quthaibah dan al-Maqdisi tidak menyebutkan Ibnu Handal sebagai ahli fiqh, tetapi hanya ahli hadis saja (Mubarok,2000:117).

Tetapi pendapat mereka itu secara otomatis tertolak karena Ibnu Hanbal memiliki metode tersendiri di dalam berijtihad. Metode yang dimilikinya itu adalah metode yang sangat lekat dengan hadis dan periwayatan.

Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa fiqh Imam Ahmad ini dibangun di beberapa asas, yaitu al-Qur’an, Sunnah, fatwa shahabat, jika para shahabat berbeda pendapat dipilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan sunnah, hadis mursal dan dla’if pun dipakai jika tidak bertentangan dengan qaul shahaby atau ijma’, Jika hadis dla’if pun tidak ada maka beliau menggunakan qiyas. Dan jika terpaksa beliau menggunakan sad adz-dzara’i (prefentif) (Mubarok,2000:120)

Di antara produk pemikiran Ibnu Hanbal dalam fiqh adalah, jual beli belum dianggap lazim apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan tempat akan dilangsungkan. Apabila salah satunya telah keluar maka akad itu sudah lazim. Alasan yang menjadi alasan adalah riwayat dari Nafi’ dan Ibnu Umar, Setiap pembeli dan penjual mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah” (Mubaroh, 2000:121-122)

4. Madzhab Syafi’i

Madzhab Syafi’I dibangun oleh Muhamad bin Idris asy-Syafi’i. Beliau dilahirkan di Syiria, tetapi kemudian berpindah ke Mekkah bersama ibunya. Di Mekkah belajar tentang ilmu dasar kepada mufti Mekkah, Muslim bin Khalid az-Zani. Kemudian ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Selanjutnya ke Irak belajar kepada Muhammad bin Hassan. Dua orang inilah guru yang cukup mempengaruhi Imam asy-Syafi’i. Guru pertama cenderung kepada hadis, sedangkan yang kedua cenderung kepada ra’yu.

Setelah belajar kepada Muhammad bin Hasan beliau sempat kembali ke Mekkah. Tetapi kemudian kemudian pergi ke Irak lagi ntuk melanjutkan diskusinya dengan ulama’ Irak mengenai fiqh. Beliau tinggal di Irak untuk yang kedua kalinya itu tidak lama karena khalifah cenderung kepada Mu’tazilah dan memaksakan kehendaknya, maka akhirnya beliau melarikan diri ke Mesir.

Dalam wacana pemikiran hukum Islam (fiqh), Imam syafi’i termasuk tokoh yang berupaya mensintesakan antara pemikiran ahl al-hadis dengan ahl ar-ra’yi.

Dasar istinbath hukum Syafi’i adalah, al-Qur’an, Hadis, Ijma’ shahabat, qaul shahabat, dan qiyas. (Mubarak,2002:105) Adanya qaul shahabat menunjukkan bahwa jika sesuatu diperselisihkan oleh para shahabat, maka beliau mengambil sikap memilih pendapat di antara pendapat para shahabat yang relefan.

Langkah-langkah ijtihad yang perlu diperhatikan antara lain, beliau melakukan qiyas terhadap hal-hal yang tidak diterangkan di dalam al-Qur’an dan hadis. Hanya saja beliau menolak mengqiyaskan hal pokok tetrhadap hal yang pokok. Hal yang bersifat pokok harus diterima bila kaifa (tanpa perlu bertanya bagaimana dan mengapa). Pertanyaan seperti tersebut hanya boleh ditanyakan kepada hal-hal yang bersifat cabang. Hadis yang beliau gunakan hanyalah hadis shahih, dan hadis yang munqathi’ tidak dipakai sama sekali. Hadis yang dipakai jika mengandung makna ganda maka digunakan makna dzahir. (Mubarak, 2002:104-105)

Imam asy-Syafi’i memiliki dua produk ijtihad yang terkenal, produk yang awal dinamakan qaul qadim, sedangkan produk yang akhir dinamakan qaul jadid. Qaul qadim adalah hasil ijtihad beliau ketika tinggal di Irak. Dalam qaul qadim pemikiran asy-Syafi’i banyak dipengaruhi oleh ra’yu, karena lingkungan Irak adalah ligkungan ahl ar-ra’yi.

Sedangkan qaul jadid merupakan koreksi terhadap qaul qadim, setelah beliau mendengarkan beberapa hadis yang beredar di Mesir tetapi tidak beliau temui di Irak maupun Hijaz. Saat itu karena pembukuan hadis masih dalam proses yang belum sempurna maka ada hadis beredar di suatu wilayah tetapi tidak bisa ditemukan di wilayah lain adalah hal yang sangat memungkinkan. Selain itu Syafi’i juga melihat praktek kehidupan di Mesir yang cukup berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di Baghdad, (Mubarak, 2000:107) sehingga dalam berijtihad pun hal ini dipertimbangkan. Karena itulah lahirnya qaul jadid bisa dikatakan sebagai suatu refleksi dari kehidupan sosial yang ditemui oleh As-Syafi’i.

Perjalanan intelektual Syafi’i, dari pengikut madzhab Maliki, kemudian berkenalan dengan pandangan madzhab Hanafi ia membangun fiqh tersendiri yang kemudian dikenal dengan Qaul Qadim, dan setelah berhijrah ke Mesir ia membangun ijtihad baru yang kemudian dikenal dengan istilah qaul jadid, adalah sangat menarik. Yang paling menarik sesungguhnya adalah upaya Syafi’i untuk mensintesakan madzhab hadis dengan ra’yu. Namun sintesa ini tidak berhasil karena fiqh Syafi’i lebih cenderung kepada aliran hadis, meskipun corak ra’yunya lebih kuat dibandingkan dengan fiqh Maliki..

0 comments:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment