Pages

Sunday, January 31, 2010

Sikap Ilmiah dalam Islam

PENDAHULUAN

Dalam islam banyak ayat-ayat al-qur’an yang memerintahkan kita untuk tafakur dan tasykur. Tafakur ialah berefleksi, berfikir tentang alam dan menemukan hukum-hukum alam (sains), tasyakir ialah memperoleh penguasaan atas alam (dengan teknologi). (Jalaludin Rahmat, 1998:147)

Sungguh keagungan Allah SWT sangatlah jelas, Al-Qur’an sebagai wahyunya dengan perintah yang diulang-ulang mengandung perintah untuk bertafakur dan bertasyakir mengejar (sains dan teknologi) sebagai kewajiban bagi muslim.

Tauhid atau keesaan Allah SWT adalah prinsip pertama agama islam dan prinsip setiap yang islami. Merupakan sebuah prinsip bahwa Allah SWT itu tunggal tidak ada suatu apapun yang menandinginya, seperti yang tealh kita pahami dalam konteks Al-Qur’an itu sendiri.

Allah berfirman yang artinya: Katakanlah “ Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 1-4)

Ilmu pengetahuan berawal dari kekaguman manusia akan alam yang dihadapinya, baik alam besar (macro-cosmos) maupun alam kecil (micro-cosmos). Manusia sebagai animal rational dibekali hasrat ingin tahu.

Hasrat ingin tahunya tersebut akan terpauskan kalau dia memperoleh pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakan.

Sumadi Surya Brata (1998) dalam bukunya “metodologi penelitian” menyebutkan ada beberapa pendekatan yang biasanya digunakan ketikaakan memperoleh pengetahuan, yaitu:

1. Pendekatan non ilmiah bisa dikategorikan menjadi: akal, sehat, prasangka, pendekatan intuitif, penemuan kebetulan, dan coba-coba, serta pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis

2. Pendekatan ilmiah adalah proses pencarian suatu informasi yang dilakukan secara sistematis. Jadi sikap ilmiah ialah sikap yang ditunjukan oleh seseorang yang meneliti tentang suatu ilmu pengetahuan melakukan suatu tindakan secara ilmiah yaitu bersikap ojektif, sitematis, dan lain-lain


ISI

Sumber ajaran Islam adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam ciptaan Tuhan yaitu sunatullah, sedangkan keduanya berasal dari sumber yang satu yakni Allah SWT. Kebenaran ajaran islam dilihat dari wahyu yang disampaikan oleh Allah, sedangkan kebenaran suatu ilmu diukur oleh akal apakah rasional atau bahkan hanya karangan.

Hubungan antara wahyu, akal, dan intelek dapat di ikhtisarkan sebagai berikut akal tidak bertentangan dengan intelek atau wahyu jika digunkan secara benar. Akal sesungguhnya harus melayani intelek dan wahyu Jadi ada kesatuan antara, wahyu, intelek dan akal dalam pengertian bahwa sumber tertinggi mereka adalah satu, yaitu intelek ilahi. (Osman Bakar 1998:99)

Intelek ialah alat yang digunakan untuk pemahaman intuitif untuk mencapai kebenaran-kebenaran transenden, sedangkan akal ialah instrument pemikiran diskursif (fikr).

Sebagaimana Allah berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lau ia bersemayam diatas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-‘Araff: 54)

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” (QS Ar-Ra’du: 2)

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya. (Zat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Yunus: 3)

Ketika kita membahas ayat-ayat tersebut maka didalamnya menjelaskan: Sesungguhnya apbila ada salah seorang yang bisa menyikapi sebuah keagungan Allah dari ala mini maka sesungguhhnya ia menemukan satu titik dintara titik-titik yang lain. Dari hal itu juga bisa mengantarkan pemahaman pada kita bahwa:

1. Di alam semesta ini hanya ada satu pencipta

2. Hanya ada satu pengatur alam semesta

Dalam hubunganya dengan asumsi ilmu, Dr. Mahdi Gulshani menulis: “Suatu keyakinan kokoh pada prinsip tauhid menjadikan sang peneliti melontarkan pandangan menyeluruh kepada alam, bukan hanya melihat secara sepotong-sepotong hal ini membuatnya mampu menerangkan keselarasan dan tatanan dan koordinasi pada alam, penelitian ilmiah tidak akan memiliki makna universal dan paling banyak nilainya hanya bersifat sementara beberapa ilmuan percaya keberadaan tatanan dan koordinasi pada alam, tanpa mempercayai atau memperhatikan prinsip tauhid tidak akan ada keterangan yang memuaskan.”

Sumber-sumber ilmu pengetahuan:

1. Al-Qur’an dan As-Sunnah

2. Alam semesta

3. Diri manusia (anfus)

4. Tarikh umat manusia

Dalam sebuah penelitian ilmiah, para ilmuan itu sendiri mendapatkan sebuah aturan-aturan yang mengikatnya, dimana hal itu disebut etika.

Jalaludin Rahmat (1998: 171) menyebutkan, etika dalam upaya ilmiah (sikap ilmiah) dibagi menjadi dua:

1. Etika metodologis, adalah seperangkat peraturan prilaku yang berkenaan denganproses ilmiah, misalnya: tidak mungkin seorang ilmuan yang kredibel memalsukan data, melakukan flagiatisme, menyembunyikan informasi, sebab apabila ilmuan tadi melakukan hal tersebut itu berate meninggalkan metode ilmiah itu sendiri.

2. Etika institusional, adalah etika yang mengatur hubungan antara ilmuan dan upaya ilmiah dengan tatanan politik, social, ekonomi dan sekitarnya

Namun etika apapun yang ada, pada akhirnya kembali pada individu itu sendiri, begaimana dia akan bertanggung jawab sebagai khlifah di bumi ini kepada Allah, Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (Al-A’raaf: 10)

Syarat-syarat yang dipakai dalam penulisan suatu karya yang ilmiah adalah:

1. Adanya data-data sebagai sumber dasar penulisan

2. Data-data tersebut dapat dilacak

3. Ketelaitian dan kerapian

4. Mengandung kebenaran

5. Keobjektifan penulis

6. Rasional

7. Uraian yang logis

8. Luas pandangan

9. Ditinjau dari berbagai sumber data

10. Sikap kritis

11. Analistis

12. Tidak hanya bersifat deskriptif

13. Adanya masalah

14. Adanya kesimpulan

(Pror. Dr. Harun Nasution, 1998: 328-323)


RINGKASAN/ ARGUMENTASI

Suatu keimanan yang dimiliki oleh seorang muslim serta ketauhidannya yang melekat pada prinsip hidupnya, akan mennjadikannya sebagai untuk selalu melaksanakan apa yang menjadi perintah Allah SWT termasuk didalamya perintah untuk mengambil pelajaran ciptaan-Nya, dan hal itu juga akan mengantarkannya menjadi seseorang yang berpikir ilmiah bahkan menjadikannya ilmuan. Seorang ilmuan muslim akan bertanggung jawab atas prilakunya denganmenempatkan akal dibawah otoritas Tuhan.

Disamping itu seorang ilmuan yang melaksanakan tugasnya akan sesuia dengan prilaku aturan dan etika yang telah ditentukan. Pada titik tertentu akan bersikap sama seperti seorang muslim yang mengaplikasikan keimanan serta tauhidnya. Karena pada titk itu mereka mempercayai bahwa lam yang mereka jadikan sebagai objek penelitianadalah salah satu ciptaan Tuhan yang sangat mengagumkan, sehingga perlu untuk mereka lestarikan.

Berikut dapat digambarkan diagramatif konsep islam yang mencakup sifat dasar penelitian ilmiah:


PENUTUP

Kefahaman akan suatu ilmu pengetahuan membuat seseorang akan menyadari serta memperkuat keyakinannya bahwa nada yang lebih tinggi kedudukan serta yang serba lebih memahami segalanya yaitu dialah Tuhan pencipta alam semesta, Allah SWT. Serta keimanan seseorang terhadap keesaan Allah membuat dia selalu mengambil hikmah serta ilmu dari setiap apa yang telah diciptakan oleh-Nya, dan menyadari bahwa apa yang ia dapat semata-mata hanya untuk kepentingan umat.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap ilmiah yang dimiliki seseorang serta keimanan dan tauhid adalah bagian yang saling berkaitan erat, serta memperkuat bagian-bagiannya (korelasi), keduanya saling menguntungkan (simbiosis mutualisme)

UKURAN SOSIOLOGIS TERHADAP MASALAH SOSIAL

1. Kriteria Utama Dalam Masalah Sosial

Suatu masalah sosila, yaitu tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Unsur-unsur yang pertama dan pokok masalah sosial adalah adannya poerbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi nyata kehidupan. Artinya adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang terjadi dalam kenyataan pergaulan hidup.

2. Sumber Masalah sosial

Sebab-sebab terpenting dalam masalah sosial haruslah bersifat sosail. Ukurannya tidaklah semata-mata pada perwujudannya yang bersifat, sosial tetapi juga pada sumbernya. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa kejadian-kejadian yang tidak bersumber pada kegiatan perbuatan manusia bukanlah merupakan masalah sosial.

Adapun masalah-masalah yang disebabkan oleh faktor alam, seperti gempa bumi, angin topan, meletusnya gunung berapi, epidemi dan lain-lain bukanlah merupakan masalah sosial. Akan tetapi berangkat dari fenomena atau gejala alam ini bisa mengakibatkan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan dan kelaparan. Jadi yang menjadi masalah sosial disini adalah merupakan akibat dari gejala sosial maupun non sosial.

3. Pihak yang Menetapkan Apakah Suatu Gejala Sosial Adalah Masalah Sosial atau Bukan

Ukuran penetapan suatu masalah sifatnya relatif, mungkin dikatakan bahwa orang banyaklah yang harus menentukannya, atau segolongan orang yang berkuasa saja atau lain-lainnya. Karena dalam kaitannya sikap masyarakatlah yang menentukan apakah suatu gejala merupakan masalah sosial atau bukan.

4. Manifest Social Problems dan Latent Social Problems

Manifest social problems merupakan masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Yang dikarenakan karena tidak sesuainya tindakan dengan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Masyarakat pada umumnya tidak menyukai tindakan-tindakan yang menyimpang

Latent social problems juga menyangkut hal-hal yang belawanan dengan nilai-nilai masyarakat, tetapi tidak diakui demikian halnya. Sehubungan dengan masalah sosial tersebut di atas, sosiologi tidaklah bertujuan untuk membentuk manusia-manusia yang bijaksana dan selalu baik dalam tindakan-tindakannya, tetapi untuk membuka mata agar memperhitungkan akibat segala tindakannya.

Suatu masalah yang merupakan manifest social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan masyarakat dapat dipebaiki dan dibatasi atau bahkan bisa dihilangkan. Lain halnya dengan latent social problems yang sulit diatasi karena walaupun masyarakat tidak menyukainya, masyarakat tidak berdaya untuk mengatasinya.

5. Perhatian Masyarakat dan Masalah Sosial

Suatu kejadian yang merupakan masalah sosial belum tentu mendapat perhatian yang sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya suatu kejadian yang mendapat sorotan masyarakat belum tentu masalah sosial.

Ukuran dalam sosiologi suatu masalah merupakan masalah sosial:

a. Karena tidak adanya kesesuaian antara ukuran/nilai-nilai sosial dengan kenyataan/tindakan sosial;

b. Karena sumber-sumber masalah sosial dari masalah sosial, yaitu merupakan akibat dari suatu gejala sosial atau bukan, yang menyebabkan masalah sosial, contoh: gagal panen (bukan gejala sosial tapi menyebabkan masalah sosial);

c. Dari pihak-pihak yang menetapkan apakah suatu kepincangan merupakan gejala sosial atau tidak, tergantung dari karakteristik masyarakat;

d. Manifest social problems dan latent social problems

e. Perhatian masyarakat dan masalah sosial

f. Sistem nilai, dan apakah dapat diperbaikinya suatu masalah sosial

BEBERAPA MASALAH SOSIAL PENTING

1. Kemiskinan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga ditentukan secara tegas.

Pada masyarakt yang bersahaja susunan organisasinya, munkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial karena mereka menganggap bahwa semuanyatelah ditakdirkan sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betuk-betul menderita karenanya. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan.

2. Kejahatan

Kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan prilaku-prilaku sosial lainnya. (Donald R. Gressey, “Crime” dalam Contemporary Social Problems, hlm 53 dst)

Kejahatan terhadap kondisi dan proses-prosesnya menghasilkan dua kesimpulan:

a. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk dan organisasi-organisasi sosial diman kejahatan itu terjadi. contohnya dalam gerak sosial, persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideologi politik, agama, ekonomi, dst.

b. Pengaruh sosial psikologis yang membentuk beberapa proses, seperti imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi difrensial, kompensasi, identifikasi, konsepsi diri pribadi (self-conception), dan kekecewaan yang agresif sebagai penyebab seseorang menjadi penjahat.

E. H Sutherland mengatakan bahwa seseorang berprilaku jahat dengan cara yang sama dengan prilaku yang tidak jahat. Artinya prilaku jahat dipelajari dalam interkasi dengan orang lain dan orang tersebut mendapatkan prilaku jahatsebagai hasil dari interaksi yang dilakukanya dengan orang-orang yang berprilaku berkecenderungan melanggar norma-norma hukum yang ada. Apabila seseorang menjadi jahat, hal itu disebabkan orang tersebut mengadakan kontak dengan pola-pola prilaku jahat dan juga karena dia mengasingkan diri terhadap pola-pola prilaku yang tidak menyukai kejahatan tersebut.

Adapun bagian-bagian intim yang sangat berpangaruh dalam memberikan sugesti kepada orang-perorangan unhtuk menerima atau menolak pola-pola prilaku kejahatan adalah alat-alat komunikasi tertentu, seperti buku, surat kabar, televisi, radio dan lain-lain.

Suatu gejala umum yang perlu diperhatikan adalah mengenai kejahatan white-collar crime, yang timbul pada abad modern ini. White-collar crime atau economic criminality, merupakan kejahatan yang dilakukan oleh penguasa atau para pejabat di dalam menjalankan peran fungsinya. Golongan tersebut menganggap dirinya kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendalian sosial lainnya karena kekuasaan dan keuangan yang dimilikinya dengan kuat. White-collar Crime ini timbul karena situasi sosial yang memberikan peluang. Sukar sekali untuk memidana mereka, sehingga dengan tepat dapat dikatakan kekuatan penjahat white-collar terletak pada kelemahan korban-korbanya.

PENGATASAN MASALAH

Untuk mengatasi masalah-masalah yang tadi, dapat diakdakan kegiatan-kegiatan yang represif antara lain dengan teknik rehabilitasi. Adapun mengenai tekniknya menurut Donald R. Cressey ada dua konsep, yaitu:

a. Menciptakan sistem dan program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat tersebut. Dan hukuman tersebut sifatnya reformatif misalny hukuman bersyarat, hukuman kurungan dan atau hukuman penjara.

b. Teknik kedua lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa (tidak jahat), dengan cara diberikan semacam konsultasi psikologis.

  1. Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena angota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban yang sesuai dengan peranan sosial

Disorganisasi keluarga sangat mungkin terjadi pada masyarakat-masyarakat sederhana karena suami sebagai kepala rumah tangga tidak mampu atau gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer keluarga atau mungkin karena dia menikah lagi. Pada umunya masalah tersebut disebabkan karena kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan kebudayaan.

Secara Sosiologis, bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain adalah:

  1. Unit keluarga yang tidak lengkap, karena hubungan diluar perkawinan walaupun dalam hal ini secara yuridis dan sosial belum terbentuk suatu keluarga.
  2. Disorganisasi keluarga dikarenakan putusnya perkawinan sebab perceraiain atau biasa disebut dengan broken home.
  3. Adanya kekuranangan dalam keluarga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi. Goede menamakannya sebagai empty shell family
  4. Krisis keluarga yang disebabkan faktor ekstern, seperti hilangya atau tidak mampunya seorang ayah untuk bertindak sebagai kepala rumah tangga karena adanya peperangan, terkena hukuman, bahkan meninggal dunia.
  5. Krisis keluarga yang disebabkan faktor intern, misalnya karena terganggunya keseimbangan jiwa salah satu anggota keluarga.

  1. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern

Masalah generasi muda umunya dicirikan dengan dua tanda yang berlawanan, yakni keinginan untuk melawan (misalnya: radikalisme, dilenkuensi, oposisi dan sebagainya) dan sikap apatis (misalnya pada penyesuaian yang membabi buta terhadap ukuran moral generasi tua).

Sikap melawan mungkin disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang. Sementara itu sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat.Generasi muda biasanya mendapati masalah dalam hal sosial dan biologis.

Masa remaja merupakan suatu masa yang dapat digolongkan sebagai masa yang berbahaya, karena pada periode itu seseorang meninggalkan tahap anak-anak menuju ketahap selanjutnya yakni tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan, pada biologisnya sudah matang sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan. Pda saat itu ia memerlukan bimbingan terutama dari orang tuanya.

Demonstration effect yang sangat kuat dan seterusnya merupakan masalah-masalah yang terjadi secara sosiologis. Masalah tersebut anatara lain dapat diurutkan sebagai berikut:

  1. Persoalan sense of value yang kurang ditanamkan oleh orang tua, terutamayang menjadi warga lapisan yang tinggi dalam masyarakat. Anak-anakdari orang-orang yang menduduki lapisan tinggi dalam masyarakat biasanya menjadi pusat sorotan dan sumber bagi imitasi untuk anak-anak yang bersal dasi lapisan yang lebih rendah.
  2. Timbulnya organisasi-organisasi pemuda informal, yang tingkah lakunya tidak disukai oleh masyarakat pada umunya
  3. Timbulnya usaha para generasi muda yang bertujuan untuk mengadakan berbagai perubahan dalam masyarakat, yang disesuaikan dengan nilai kaum muda.
  1. Peperangan

Peperangan mungkin merupakan masalah sosial yang paling sulit dipecahkan sepanjang sejarah kehiupan manusia. Peperangan merupakan suatu bentuk pertentangan yang setiap kali diakhiri dengan akomodasi. Keadaan dewasa ini yang sering disebut “Perang Dingin” merupakan suatu bentuk akomodasi.

Peperangan mengakibatkan berbagai disoraganisasi dalam berbagai aspekkemasyarakatan, baik pada negara yang dianggap sebagai pemenang atau pun negara yang dinyatakan telah takluk. Belum lagi peperangan dewasa ini biasanya merupakan perang total, yaitu dimana tidak hanya angkatan bersenjata yang tersangkut, tetapi seluruh lapisan masyarakat.

  1. Pelanggaran Terhadap Norma-Norma
  1. Pelacuran

Pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukakn perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah. Pelacuran dapat dikategorikan sebagai masalah sosial itu lebih dikarenakan pada penghakiman masyarakat terhadap para PSK (Pekerja Seks Komersial) yang dinilai sebagai suatu pekerjaan nista, karena mereka dianggap telah melanggar norma yang terdapat dalam suatu masyarakat tersebut.

Tapi apabila di dalam masyarakat itu tidak ada kode etik atau norma yang menganggap bahwa pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang tidak halal, maka masyarakat sesungguhnya tidak akan menilai hal tersebut sebagai suatu masalah sosial.

  1. Dilenkuensi Anak-Anak

Dilenkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam ikatan/organisasi formal atau semi formal dan yang mempunyai tingkah laku yang kurang/ tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya.

Dilenkuensi anak-anak meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obatan perangsang, dan mengendarai keadaan bermotor dengan tidak mengindahkan aturan-aturan lalu lintas.

  1. Alkoholisme

Masalah alkoholisme dan pemabuk pada kebanyakan masyarakat pada umunya tidak berkisar pada apakah alkohol boleh atau dilarang dipergunakan. Persoalan pokoknya adalah siapa yang boleh menggunakannya diaman, kapan, dan dalam kondisi yang bagaimana. Karena dalam kaitannya masalah alokoholisme ini apabila tidak bisa ditertibkan maka akan mengakibatkan disorganisasi sosial terhadap masyarakat khususnya keluarga pada seorang pemabuk.

Pembicaraan alkoholisme mengenai aspek hukum yang dibatasi pada perudang-undangan akan dipusatkan pada akibat pemakaian alkohol. Artinya, yang akan disajikan adalah mengenai orang mabuk dan keadaan yang berkaitan dengan itu, yang sebenarnya berlandaskan aspek sosial.

Sebagai kesimpulan sementara dapatlah dikatakan bahwa pola minum minuman beralkohol dalam batas-batas tertentu dianggap bukanlah masalah sosial. Akan tetapi, jika perbuatan tersebut mengakibatkan mabuk, hal itu dianggap sebagai penyimpangan yang tidak terlampau berat apabila belum menjadi suatu kebiasaan. Dari sudut tersebut pada aspek sosial yang penting adalah mencegah adanya pemabuk.

  1. Homoseksual

Secara sosiologis homoseksual adalah seseorang yang cenderung menyukai orang yang sejenis kelaminnya sebagai pasangan seksual. Homoseksualitas merupakan sikap tindak atau pola prilaku para homoseksual. Pria yang melakukan tindak tanduk yang demikian lazimnya disebut Gay, sedangak pada wanita sering disebut sebagai lesbian.

Seseorang menjadi homoseksual karena pengaruh orang-orang sekitarnya. Sikap-tindakannya yang kemudian menjadi pola seksualnyadianggap sebagai sesuatu yang dominan sehingga menntukan segi-segi kehidupan lainnya. Mereka biasanya menderita konflik batiniyah yang menyangkut identitas diri yang bertentangan dengan identitas sosial sehingga ada kecenderungan untuk mengubah karakteristik seksualnya. Secara sosiologis, lingkungan sosial memberikan bentuk pada sikap-tindak homoseksual.

Homoseksualitas timbul lebih dikarenakan oleh dorongan kuat yang kadang-kadang menjadi ekses untuk mengadakan persamaan kedudukan dan peranan antara wanita dengan pria. Kegiatan-kegiatan ini kadang, menghasilkan situasi yang disproporsional bagi kaum pria.

Homoseksual dapat digolongkan kedalam tiga kategori, yaitu:

- Golongan yang secara aktif mencari mitra kencan ditempat-tempat tertentu, seperti misalnya bar-bar homoseksual;

- Golongan pasif, artinya menunggu;

- Golongan situasional yang mungkin bersikap pasif atau melakukan tindakan-tindakan tertentu

  1. Masalah Kependudukan

Penduduk suatu negara pada hakikatnya merupakan sumber yang sangat penting bagi pembangunan, sebab penduduk merupakan subjek serta objek pembangunan. Dalam prospek tersebut ternyata kesejahteraan penduduk mengalami gangguan oleh perubahan-perubahan demografis yang sering kali tidak dirasakan.

Masalah ini terdapat pada tingginya angka kelahiran, yang dalam hal ini dapat diatasi oleh pelaksanan pada program Keluarga Berencana (KB) yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu-ibu dan anak-anak maupun keluargaserta bagsa secara menyeluruh. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dengan mengurangi angka kelahiran sehingga pertumbuhan pendudik tidak melebihi kapasitas produksi (Soerjono Soekanto, Pengetahuan Kalangan hukum di DKI Terrhadap Hukum dan Kependudukan, hlm 1, &2)

  1. Masalah Lingkungan Hidup

Masalah lingkungan hidup biasanya membicarakan yang berkutat mengenai suatu hal yang berada di sekitar manusia, baik sebagai individu maupun dalam pergaulan hidup. Lingkungan hidup tersebut dibedakan dalam kategori-kategori sebagai berikut:

  1. Lingkungan fisik, yakni semua benda mati yang ada di sekeliling manusia
  2. Lingkungan biologis, yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa organisme yang hidup (disamping manusia itu sendiri)
  3. Lingkungan sosial, yang terdiri dari orang-orang baik individual maupun kelompok yang berada di sekitar manusia

Dalam pengertiannya, lingkungan terjadi karena adanya timbal balik antara organisme-organisme hidup (biotic community) tertentu, yang membentuk suatu keserasian atau keseimbangan tertentu.

Masalah yang di hadapi oleh lingkungan dewasanya adalah suatu pencemaran yang diakibatkan oleh subsidi energi yang dimasukan oleh manusia kedalam lingkungan buatannya. Pencemaran akan terjadi apabila di dalam lingkungan hidup manusia, baik yang bersifat fisik, biologis, maupun sosiologis terdapat bahan yang mergikan eksistensi manusia dan lingkungan, yang pada umunya merupakan aktivitas manusia itu sendiri.

Masalah pencemaran biasanya dibedakan dalam beberapa klasifikasi seperti, pencemaran udara, air, darat dan tanah serta pencemaran budaya atau sosial.

  1. Birokrasi

Pengertian birokrasi menunjuk pada suatu organisasi yang diamsud untuk mengarahkan tenaga dengan teratur dan terus menerus untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Atau dengan kata lain, birokrasi merupakan organisasi yang bersifat hierarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas administratif.

Menurut hemat Max Weber, birokrasi merupakan suatu organisasi di dalam masyarakat; sehingga birokrasi tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar kehidupan masyarakat dimana birokrasi itu berada. Suatu birokrasi dikatakan Bureaucratism atau menghambat atau bermasalah terhadap aspek sosial apabila birokrasi tersebut dianggap telah keluar jalur dari pokok-pokok tujuan kemaslahatannya.

REFERENSI

Butt, Nasim. Sains & masyarakat Islam, Pustaka Hidayah. 1996: Bandung

Nasution, Harun. Islam Rasional, Mizan. 1998: Bandung

Bakar Osman. Hierarki Ilmu “Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu”,Mizan. 1997: Bandung

Surya Brata, Sumardi. Metodologi penelitian, PT Raja Grafindo. 1998: Jakarta

Rakhmat, Jalaludin. Islam Alternatif, Mizan. 1998: Bandung

Pengertian Negara

BAB I

PENGERTIAN NEGARA

A. Pengertian

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.

Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.

Negara juga merupakan pengorganisasian masyarakat yang bersifat memaksa karena dengan melalui hukum-hukumya Negara dapat mengikat masyaraktnya dan Negara pun berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

B. Pengertian Negara Menurut Para Ahli

1. Roger F. Soltau

Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.

2. George Jellinek

Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.

3. Prof. R. Djokosoetono

Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.

BAB II

DASAR NEGARA

A. Dasar Filosofis

Leon Trotsky (1879-1940) pernah mengemukakan pernyataan bahwa "setiap negara didasarkan pada kekerasan ". Hal ini dimaksudkan agar anarki tidak terjadi. Itulah dasar filosofis dari pembentukan dan pendirian negara. Namun, anarki dalam problem ini tidak identik dengan paham anarkisme. Sebab, anarkisme merupakan filsafat politik yang menolak seluruh bentuk penindasaan yang dijalankan negara.

Anarki adalah nama lain dari kekacauan dan ketidaktertiban yang menjadikan masyarakat seolah-olah hidup dalam hukum rimba. Anarki adalah kondisi ketika negara tidak berdaya untuk menegakkan otoritasnya sendiri.

Gagasan Trotsky itu diadopsi Max Weber (1864-1920) ketika mendefinisikan negara sebagai komunitas manusia yang berhasil mengklaim untuk menggunakan kekerasan fisik yang sah dalam teritori tertentu. Kekerasan itu adalah wujud otoritas negara karena merupakan kekuasaan yang diakui kebenarannya dan dilembagakan dalam institusi politik yang memiliki legitimasi.

Negara adalah lembaga kekuasaan yang sah karena sengaja dihadirkan untuk memberikan perlindungan bagi warga yang lemah. Adalah hak otoritatif negara untuk mengerahkan pasukan- pasukan polisi dan tentara. Semua ini dimaksudkan supaya negara mampu membedakan diri dengan situasi anarkistis yang seakan-akan tanpa tatanan sama sekali.

Bahkan, apabila diperlukan, negara pun diperbolehkan untuk mempraktikkan hukuman mati. Tentu saja, hukuman dalam bentuk penghilangan nyawa terhadap warganya sendiri itu harus mendapatkan persetujuan dari mayoritas warga.

Hukuman yang paling keras tersebut memang dipakai untuk menegakkan otoritas negara sebagai lembaga kekuasaan yang menjaga dan menjamin ketertiban umum. Jika hukuman yang dianggap terlalu keras itu menimbulkan efek jera bagi kelompok-kelompok lain adalah dampak sekunder yang mengikutinya. Negara memang memiliki kekuasaan yang sangat besar karena pada institusi kekuasaan itulah masyarakat menyerahkan nasib kehidupannya. Itu berarti negara adalah lembaga kekuasaan yang mengayomi.

Memang benar bahwa negara bukanlah satu-satunya lembaga yang terdapat dalam kehidupan sosial. Ada dua lembaga lain yang menyertai keberadaan negara, yakni pasar dan masyarakat. Hanya saja jika dibandingkan dengan negara, maka pasar dan masyarakat tidak memiliki otoritas untuk melakukan kekerasan yang sah. Pasar berhitung pada transaksi penawaran-permintaan untuk meraih capaian profit secara maksimal. Masyarakat bergulir dalam logika komunikatif untuk meraih dialog yang setara.

Kerentanan terjadi dalam sektor masyarakat ketika ada organisasi masyarakat yang memiliki pasukan tertentu, dalam formula laskar, paramiliter, dan milisia, yang justru menutup terjadinya dialog yang rasional. Kerentanan dalam kehidupan masyarakat itulah yang dipandang oleh Thomas Hobbes (1588-1679) sebagai kekacauan yang harus dicegah. Masyarakat, demikian Hobbes menegaskan, hanya membuka peluang berlangsungnya homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain) dan bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Itulah situasi kekacaubalauan ketika di antara organ-organ masyarakat saling bertarung untuk mendapatkan kemenangan dengan teknik mengerahkan kekerasan. Hanya serigala yang besar dan mempunyai taring serta cakar yang tajam mampu memenangkan pertarungan itu.

Sosok Leviathan

Situasi karut marut itulah yang menjadikan Hobbes mendorong penciptaan suatu negara yang mampu menampilkan diri sebagai sosok Leviathan. Negara sebagai Leviathan adalah realisasi dari monster yang sangat menakutkan. Dengan kekuasaan yang sedemikian meraksasa dan serba mengerkah, secara otomatis, masyarakat akan mengalami ketakutan. Bukankah hanya rasa takut yang menjadikan manusia memiliki nalar melangsungkan kehidupan? Manusia cuma bisa ditundukkan oleh ketakutannya. Negara yang berhasil menciptakan ketakutan terhadap warganya sendiri pasti bisa menghadirkan ketertiban yang hakiki. Dalam situasi yang serba penuh teror, Hobbes menggambarkan, masyarakat akan bergerak sendiri sebagaimana jarumjarum jam yang berdetak tanpa perintah.

Tentu saja, negara yang menggunakan model monster Leviathan tidak perlu diadopsi untuk menciptakan ketertiban. Negara semacam ini hanya melahirkan aksi-aksi teroristik yang tidak memberikan ruang-ruang toleransi bagi perbedaan ideologi dan opini dalam masyarakat. Negara Leviathan justru menghancurkan hasrat bagi warga untuk menyalurkan kreativitas dan kritik bagi perbaikan kondisi kehidupan.

Persoalan yang paling urgensif diwujudkan bukanlah menjadikan lembaga negara sebagai Leviathan, melainkan menegaskan kembali otoritas negara dalam menjaga ketertiban. Aparat keamanan harus mempunyai keberanian dan ketegasan dalam menegakkan hukum. Ini dimaksudkan supaya kelompok masyarakat paling lemah yang hendak meyakini kepercayaannya dan menyuarakan aspirasinya tidak takut oleh kelompok masyarakat lain yang lebih besar yang didukung sepasukan paramiliter. Tanpa penegakan kembali otoritas negara, maka peristiwa yang terus berlanjut adalah homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes.

B. Dasar Historis

Terdapat tiga teori yang mendasari itu, diantaranya:

1. Teori Hukum Alam, Pemikiran Plato dan Aristoteles:

Kondisi Alam à Tumbuhnya manusia à Berkembangnya Negara

Alam disini merupakan kondisi alam yang sangat srtagtegis baik dalam meliputi letak geografisnya maupun ruang lingkup daerah atau wilayah yang bermanfaat, seperti misalnya kebanyakan orang akan tinggal pada daerah dan tempat yang kaya akan sumber air seperti mata air, danau, dsb. Dengan banyaknya orang yang mendiami wilayah tersebut maka secara langsung maupun tidak langsung dalam sejarahnya setiap individu-individu yang menetap tersebut akan menjadi kelompok-kelompok yang kemudian akan berkembang dan terbentuklah dewasanya adalah sebuah Negara yang memiliki sistem yang kompleks. (Andri: 2008).

2. Teori Ketuhanan (Islam+Kristen)

Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan.

Dalam pandangan agama atau ketuhanan khususnya agama samawi mereka mengatakan bahwa pada hakikatnya Negara merupakan anugrah dari Sang Pencipta dengan melalui manusia sebagai perantara pembentukanya. Sebagaimana dalam islam disebutkan bahwa manusia adalah seorang khalifah di bumi, dan manusia itu sendirilah yang akan menentukan langkah baik ataupun buruknya suatu sistem dalam kelompok-kelompok individu bentukanya tersebut tetapi dengan tidak terlepas dari Tuhan itu sendiri. (Indra: 2008)

3. Teori Perjanjian (Thomas Hobbes)

Manusia menghadapi kondisi alam. Manusia akan musnah bila ia tidak mengertahui cara-caranya. Manusia pun bersatu untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama, yakni dengan melakukan perjanjian atau kesepakatan bersama yang di dalamnya diatur menganai batasan-batasan tertentu.

Dalam proses terbentuknya Negara di zaman modern dewasa ini adalah melalui berbagai proses yang diantaranya dapat berupa penaklukan, peleburan (fusi), pemisahan diri, dan pendudukan atas Negara atau wilayah yang belum ada pemerintahan sebelumnya.

C. Dasar Sosiologis

Yaitu suatu pandangan yang membicarakan Negara sebagai gejala peristiwa sosial atau soziales faktum.

Dalam hal ini Socrates bependapat bahwa Negara bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan dirinya pribadi, melainkan Negara itu suatu susunan yang objektif bersandarkan kepada sifat hakekat manusia karena itu berugas untuk melaksanakan dan menerapkan hukum-hukum yang objektif dimana termuat keadilan bagi umum walaupun sifatnya memaksa.

Dalam gagasan Herman Heller tentang Negara dan masyarakat berpendapat bahwa, manusia dengan pergaulan hidup antar manusia sesamanya dalam masyarakat memerlukan Negara. Oleh karena itu haruslah dilihat kenyataan Negara dalam masyarakat, dan dalam tugas kemasyarakatannya, maka dengan demikian masyarakat manusia merupakan keseluruhannya dan Negara sebagai bagian daripada keseluruhan itu. Karena itulah terdapatnya hubungan timbal balik dan saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lainnya antara Negara dengan masyarakat, dan tidak dapat dilepaskan antara masing-masing itu.

Dengan demikian Negara disini memiliki fungsi sebagai “territoriale gezagsorganistie” terhadap masyarakatnya.

Terkait dengan hal itu Plato berpendapat bahwa Negara ada karena banyaknya kebutuhan hidup serta keninginan manusia. Karena hal tersebut, maka maka manusi tidak mampu untuk dapat memenuhi kebutuhannya serta keinginannya itu secara masing-masing, oleh sebab itu sesuai dengan kecakapan manusia masing-masing mereka mendapat pembagian tugas sendiri-sendiri sehingga dengan dasar bersosial dan kerja sama, maka manusia dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya itu. Sebagaimana dinyatakanya bahwa: “The state arises out of the wants of men”; then, as we have many wants, and many persons are needed to supply them, one takes a helper of one purpose and another for another; and when these partners and helper are gathered together in one habitation the body of inhabitations is termed a state”.

Sehubungan dengan hal itu cara terjanya Negara menurut Aristoteles ialah, bahwa manusia berbeda dengan hewan, sebab hewan dapat hidup sendiri, sedangakan manusia sudah dikodratkan untuk hidup berhubungan satu sama lain, dimana manusia membutuhkan bantuan daripada manusi lainnya guna memenuhi kepentingan hidupnya. Sehingga manusia itu menurut kodratnya tidak dapat terlepas daripada kelompok manusia itu sendiri. Jadi manusi itu merupakan “Zoon Politicon”.

Dalam hal “Zoon Politicon” ini menurut P.J. Bouman di dalam bukunya yang berjudul “Algamene Maatschappijler” dengan alih bahasa oleh Sujono Sijitno berjudul “Ilmu Masyarakat Umum”, bahwa “Manusia baru menjadi manusia setelah ia hidup bersama dengan manusia lain”. Oleh karena itu manusia hidup bersama dengan manusi di dalam suatu kelompok dan penggabungan-penggabungan diantara diantara beberapa kelompok itu mengakibatkan timbulnya Negara.

D. Dasar Yuridis

Dalam hal ini Negara dianggap dan dititik-beratkan kepada kepribadian hukumnya, yaitu selaku badan hukum (rechtspersoon) dilapangan hukum publik atau selaku susunan tata hukum, yang membicarakan negara sebagai bangunan-bangunan(lembaga-lembaga) hukum atau Rechtsliche Institution dan dalam kaitannya mengenai suatu negara selaku “individu”

Tata hukum tersebut menurut Aristoteles dapat dikatakan logis bilamana didalamnya dijajalankan oleh hakim suatu peraturan yang bersifat mayor terhadap suatu perkara yang bersifat minor dan dijalankan peraturan itu sedemikian rupa sehingga memperoleh hasil atau konklusi yang memaksa. Konklusi “syllogisme” harus memaksa sebab konklusi lain tidak mungkin. Apabila terdapat konklusi lain maka itu dibuat karena kesalahan berpikir sehingga tidak logis.

Contoh:

a. Dalam hukum pidana:

- Premisse mayor : Barang siapa yang mencuri harus dihukum

- Premisse minor : A mencuri

- Konklusi : A harus dihukum

b. Dalam hukum perdata:

- Premisse mayor : Barang siapa membeli harus membayar

- Premisse minor : A membeli

- Konklusi : A harus membayar

Masih menurut Aristoteles bahwa Negara itu merupakan badan “iudicialis seu consiliativa” – yang hidup dan bebas, yang mempunyai tujuan tertinggi ialah mempertahankan perdamaian, memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk memperkembangkan dirinya secara bebas. Dan tugas utama dari Negara untuk mencapai tersebut adalah dalam hal membuat undang-undang demi kepentingan kesejahteraan rakyat.

Tak terlepas dari itu maka Hans Kelsen menganngap, bahwa Negara itu merupakan kesatuan tata hukum atau normordening (behorenordening) yaitu tata yang memberi pedoman terhadap tingkah laku manusia apa yang seharusnya dijalankan dan tidak dijalankan, sehingga dengan demikian Negara itu identik dengan hukum. Dan hukum tersebut merupakan kumpulan kaidah-kaidah (normen) yang bersifat memaksa.

Hukum itu harus ditaati dan menentukan pedoman terhadap tingkah laku manusia apa yang seharusnya dijalankan dan tidak dijalankan – normatis –, disebabkan merupakan perintah dan kehendak Negara atau Wille des Staates.

Dan Negara itu merupakan persekutuan susunan “Zwangsordnung”, yaitu yang dipertahankan oleh paksaan yang mengandung hak memerintah dan terdapatnya kewajiban manusia untuk mentaati perintahnya, mak Negara identik atau sama dengan hukum, sebab ketertiban Negara merupakan perseifikasi dari ketertiban hukum.

Berdasarkan pandangan tersebut atas hakekat Negara itu maka terjadilah apa yang disebut “Der Staat ist Zurrechtnuungpunkt” atau Negara itu merupakan titik pertanggung jawaban terhadap undang-undang dan tata hukum, jadi Negara adalah badan yang memberikan sanksi dan yang bertanggung jawab. Dengan demikian pembentukan Negara itu didasarkan kepada “Stufenbau des Rechts” atau pertanggaan hukum yang merupakan struktur pyramidal.


BAB III

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG NEGARA

Kata negara, yang dalam bahasa Arab merupakan padanan kata dawlah, sebenarnya merupakan kata asing. Artinya, kata ini tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Arab pada masa Jahiliyah maupun pada masa datangnya Islam. Wajar, jika kata tersebut—yang dipadankan dengan kata negara dalam bahasa Indonesia—tidak ditemukan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Ibn al-Mandzur (w. 711H/1211M), yang mengumpulkan seluruh perkataan orang Arab asli di dalam kamusnya yang amat terkenal, Lisân al-’Arab, juga membuktikan bahwa kata dawlah tidak pernah digunakan oleh orang-orang Arab dengan pengertian negara. Ia hanya mengatakan bahwa kata dawlah atau dûlah sama maknanya dengan al-’uqbah fî al-mâl wa al-harb (perputaran kekayaan dan peperangan); artinya suatu kumpulan secara bergilir menggantikan kumpulan yang lain. Kata dawlah dan dûlah memiliki makna yang berbeda. Di antaranya ada yang berarti al-idâlah al-ghâlabah (kemenangan). Adâlanâ Allâh min ‘aduwwinâ (Allah telah memenangkan kami dari musuh kami) merupakan arti dari kata dawlah (Ibn al-Mandzur, Lisân al-’Arab, jilid XI, hlm. 252).

Kepastian tentang kapan kata dawlah digunakan oleh orang Arab dengan pengertian negara tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, di dalam Muqaddimah-nya Ibn Khaldun (ditulis tahun 779H) terdapat kata dawlah dengan pengertian negara. Kata ini tercantum dalam bab fî ma’nâ al-khilâfah wa al-imâmah (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 170-210).

Meskipun kata dawlah dengan pengertian negara tidak tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunah, bukan berarti realitas dari kata tersebut tidak ada di dalam Islam. Alasannya, nash menggunakan kata lain yang unik, yaitu al-khilâfah, yang menunjukkan makna yang sama dengan daulah (negara). Di dalam banyak hadis dapat dijumpai kata al-khilâfah. Di antaranya adalah hadis berikut:

Dulu, urusan Bani Israel diatur dan dipelihara oleh para nabi. Jika seorang nabi wafat, segera digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, sepeninggalku tidak ada lagi nabi. Yang (akan) ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak. (HR Muslim dalam bab Imârah).

Walhasil, gambaran real yang dimaksud oleh kata dawlah (negara) telah disinggung oleh Islam dengan menggunakan kata lain, yaitu khilafah.

Ibn Khaldun juga menggunakan kata Dawlah Islâmiyyah (Negara Islam). Artinya, kata dawlah disifati dengan kata islamiyyah untuk menyebut al-khilâfah (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 180 dan 210-211). Ia memberikan sifat islamiyah (Islam) terhadap kata dawlah (negara) karena kata daulah (negara) memiliki arti umum, mencakup negara Islam dan bukan Islam. Akan tetapi, jika kata dawlah digandengkan dengan kata islamiyyah, maka artinya sama dengan al-khilâfah. Oleh karena itu, kata Daulah Islamiyah (Negara Islam) hanya memiliki satu makna, yaitu Khilafah. Di luar itu (selain Negara Islam), Ibn Khaldun sendiri cenderung menggunakan istilah al-mulk (kerajaan) atau ad-dawlah (negara) saja.

Sesungguhnya terdapat juga istilah lain yang banyak digunakan oleh para fukaha yang menggambarkan realitas yang sama dengan Daulah Islamiyah atau Khilafah, yaitu Dâr al-Islâm. Kata Dâr al-Islâm juga merujuk pada nash-nash syariat dan memiliki makna syar’î (al-haqîqah as-syar’iyyah). Kata tersebut dijumpai, antara lain, dalam hadis berikut:

Ajaklah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhi ajakanmu, terimalah mereka, dan cegahlah (tanganmu) untuk memerangi mereka. Kemudian, ajaklah mereka berhijrah dari negeri mereka (dâr al-kufr) ke negeri kaum Muhajirin (dâr al-Muhajirîn). Beritahukanlah kepada mereka, jika mereka melakukannya, mereka akan memperoleh hak-hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muhajirin. (HR Muslim).

Lawan kata dari dâr al-Islam adalah dâr al-kufr, dâr al-musyrik, atau dâr al-harb. Kata Dâr al-Islâm sendiri acapkali disamakan dengan kata Dâr al-Hijrah atau Dâr al-Muhâjirîn.

Dari sini, sebenarnya terdapat kesepadanan pengertian dan realitas yang sama pada kata Daulah Islamiyah, Khilafah, dan Dar al-Islam.

Selanjutnya, apa yang menjadi ciri sebuah negara yang tergolong sebagai Dar al-Islam, atau Daulah Islamiyah, atau Khilafah?

Imam Abu Hanifah menjelaskannya melalui pengertian yang terbalik, Beliau menjelaskan syarat-syarat sebuah dar al-kufr, yaitu:

1. Di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur

2. Bertetangga (dikelilingi) dengan negeri kufur

3. Kaum Muslim dan non-Muslim (dari kalangan ahlu dzimmah) tidak memperoleh jaminan keamanan dengan keamanan Islam (Dr. Muhammad Khayr Haykal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, jilid I, hlm. 662).

Sementara itu, Syaikh ‘Abdul Wabhab Khallaf, dalam bukunya, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, lebih gamblang mendefinisikannya sebagai berikut:

Dar al-Islam adalah dâr (daerah/negeri) yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum Islam, sementara sistem keamanan di dalamnya berada dalam sistem keamanan Islam, baik mereka itu Muslim ataupun ahlu dzimmah. (Dr. Muhammad Khayr Haykal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, , jilid I, hlm. 666).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan lagi bahwa suatu tempat/negeri dapat digolongkan sebagai Dar al-Islam jika memenuhi dua syarat:

1. Diterapkannya sistem hukum Islam

2. Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islâmiyah, jilid II, hlm. 260).

Beliau menambahkan lagi bahwa jika salah satu syarat dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, secara otomatis, tempat/negeri tersebut tidak bisa digolongkan sebagai Dar al-Islam.