Pages

Sunday, January 31, 2010

Pengertian Negara

BAB I

PENGERTIAN NEGARA

A. Pengertian

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.

Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.

Negara juga merupakan pengorganisasian masyarakat yang bersifat memaksa karena dengan melalui hukum-hukumya Negara dapat mengikat masyaraktnya dan Negara pun berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

B. Pengertian Negara Menurut Para Ahli

1. Roger F. Soltau

Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.

2. George Jellinek

Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.

3. Prof. R. Djokosoetono

Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.

BAB II

DASAR NEGARA

A. Dasar Filosofis

Leon Trotsky (1879-1940) pernah mengemukakan pernyataan bahwa "setiap negara didasarkan pada kekerasan ". Hal ini dimaksudkan agar anarki tidak terjadi. Itulah dasar filosofis dari pembentukan dan pendirian negara. Namun, anarki dalam problem ini tidak identik dengan paham anarkisme. Sebab, anarkisme merupakan filsafat politik yang menolak seluruh bentuk penindasaan yang dijalankan negara.

Anarki adalah nama lain dari kekacauan dan ketidaktertiban yang menjadikan masyarakat seolah-olah hidup dalam hukum rimba. Anarki adalah kondisi ketika negara tidak berdaya untuk menegakkan otoritasnya sendiri.

Gagasan Trotsky itu diadopsi Max Weber (1864-1920) ketika mendefinisikan negara sebagai komunitas manusia yang berhasil mengklaim untuk menggunakan kekerasan fisik yang sah dalam teritori tertentu. Kekerasan itu adalah wujud otoritas negara karena merupakan kekuasaan yang diakui kebenarannya dan dilembagakan dalam institusi politik yang memiliki legitimasi.

Negara adalah lembaga kekuasaan yang sah karena sengaja dihadirkan untuk memberikan perlindungan bagi warga yang lemah. Adalah hak otoritatif negara untuk mengerahkan pasukan- pasukan polisi dan tentara. Semua ini dimaksudkan supaya negara mampu membedakan diri dengan situasi anarkistis yang seakan-akan tanpa tatanan sama sekali.

Bahkan, apabila diperlukan, negara pun diperbolehkan untuk mempraktikkan hukuman mati. Tentu saja, hukuman dalam bentuk penghilangan nyawa terhadap warganya sendiri itu harus mendapatkan persetujuan dari mayoritas warga.

Hukuman yang paling keras tersebut memang dipakai untuk menegakkan otoritas negara sebagai lembaga kekuasaan yang menjaga dan menjamin ketertiban umum. Jika hukuman yang dianggap terlalu keras itu menimbulkan efek jera bagi kelompok-kelompok lain adalah dampak sekunder yang mengikutinya. Negara memang memiliki kekuasaan yang sangat besar karena pada institusi kekuasaan itulah masyarakat menyerahkan nasib kehidupannya. Itu berarti negara adalah lembaga kekuasaan yang mengayomi.

Memang benar bahwa negara bukanlah satu-satunya lembaga yang terdapat dalam kehidupan sosial. Ada dua lembaga lain yang menyertai keberadaan negara, yakni pasar dan masyarakat. Hanya saja jika dibandingkan dengan negara, maka pasar dan masyarakat tidak memiliki otoritas untuk melakukan kekerasan yang sah. Pasar berhitung pada transaksi penawaran-permintaan untuk meraih capaian profit secara maksimal. Masyarakat bergulir dalam logika komunikatif untuk meraih dialog yang setara.

Kerentanan terjadi dalam sektor masyarakat ketika ada organisasi masyarakat yang memiliki pasukan tertentu, dalam formula laskar, paramiliter, dan milisia, yang justru menutup terjadinya dialog yang rasional. Kerentanan dalam kehidupan masyarakat itulah yang dipandang oleh Thomas Hobbes (1588-1679) sebagai kekacauan yang harus dicegah. Masyarakat, demikian Hobbes menegaskan, hanya membuka peluang berlangsungnya homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain) dan bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Itulah situasi kekacaubalauan ketika di antara organ-organ masyarakat saling bertarung untuk mendapatkan kemenangan dengan teknik mengerahkan kekerasan. Hanya serigala yang besar dan mempunyai taring serta cakar yang tajam mampu memenangkan pertarungan itu.

Sosok Leviathan

Situasi karut marut itulah yang menjadikan Hobbes mendorong penciptaan suatu negara yang mampu menampilkan diri sebagai sosok Leviathan. Negara sebagai Leviathan adalah realisasi dari monster yang sangat menakutkan. Dengan kekuasaan yang sedemikian meraksasa dan serba mengerkah, secara otomatis, masyarakat akan mengalami ketakutan. Bukankah hanya rasa takut yang menjadikan manusia memiliki nalar melangsungkan kehidupan? Manusia cuma bisa ditundukkan oleh ketakutannya. Negara yang berhasil menciptakan ketakutan terhadap warganya sendiri pasti bisa menghadirkan ketertiban yang hakiki. Dalam situasi yang serba penuh teror, Hobbes menggambarkan, masyarakat akan bergerak sendiri sebagaimana jarumjarum jam yang berdetak tanpa perintah.

Tentu saja, negara yang menggunakan model monster Leviathan tidak perlu diadopsi untuk menciptakan ketertiban. Negara semacam ini hanya melahirkan aksi-aksi teroristik yang tidak memberikan ruang-ruang toleransi bagi perbedaan ideologi dan opini dalam masyarakat. Negara Leviathan justru menghancurkan hasrat bagi warga untuk menyalurkan kreativitas dan kritik bagi perbaikan kondisi kehidupan.

Persoalan yang paling urgensif diwujudkan bukanlah menjadikan lembaga negara sebagai Leviathan, melainkan menegaskan kembali otoritas negara dalam menjaga ketertiban. Aparat keamanan harus mempunyai keberanian dan ketegasan dalam menegakkan hukum. Ini dimaksudkan supaya kelompok masyarakat paling lemah yang hendak meyakini kepercayaannya dan menyuarakan aspirasinya tidak takut oleh kelompok masyarakat lain yang lebih besar yang didukung sepasukan paramiliter. Tanpa penegakan kembali otoritas negara, maka peristiwa yang terus berlanjut adalah homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes.

B. Dasar Historis

Terdapat tiga teori yang mendasari itu, diantaranya:

1. Teori Hukum Alam, Pemikiran Plato dan Aristoteles:

Kondisi Alam à Tumbuhnya manusia à Berkembangnya Negara

Alam disini merupakan kondisi alam yang sangat srtagtegis baik dalam meliputi letak geografisnya maupun ruang lingkup daerah atau wilayah yang bermanfaat, seperti misalnya kebanyakan orang akan tinggal pada daerah dan tempat yang kaya akan sumber air seperti mata air, danau, dsb. Dengan banyaknya orang yang mendiami wilayah tersebut maka secara langsung maupun tidak langsung dalam sejarahnya setiap individu-individu yang menetap tersebut akan menjadi kelompok-kelompok yang kemudian akan berkembang dan terbentuklah dewasanya adalah sebuah Negara yang memiliki sistem yang kompleks. (Andri: 2008).

2. Teori Ketuhanan (Islam+Kristen)

Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan.

Dalam pandangan agama atau ketuhanan khususnya agama samawi mereka mengatakan bahwa pada hakikatnya Negara merupakan anugrah dari Sang Pencipta dengan melalui manusia sebagai perantara pembentukanya. Sebagaimana dalam islam disebutkan bahwa manusia adalah seorang khalifah di bumi, dan manusia itu sendirilah yang akan menentukan langkah baik ataupun buruknya suatu sistem dalam kelompok-kelompok individu bentukanya tersebut tetapi dengan tidak terlepas dari Tuhan itu sendiri. (Indra: 2008)

3. Teori Perjanjian (Thomas Hobbes)

Manusia menghadapi kondisi alam. Manusia akan musnah bila ia tidak mengertahui cara-caranya. Manusia pun bersatu untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama, yakni dengan melakukan perjanjian atau kesepakatan bersama yang di dalamnya diatur menganai batasan-batasan tertentu.

Dalam proses terbentuknya Negara di zaman modern dewasa ini adalah melalui berbagai proses yang diantaranya dapat berupa penaklukan, peleburan (fusi), pemisahan diri, dan pendudukan atas Negara atau wilayah yang belum ada pemerintahan sebelumnya.

C. Dasar Sosiologis

Yaitu suatu pandangan yang membicarakan Negara sebagai gejala peristiwa sosial atau soziales faktum.

Dalam hal ini Socrates bependapat bahwa Negara bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan dirinya pribadi, melainkan Negara itu suatu susunan yang objektif bersandarkan kepada sifat hakekat manusia karena itu berugas untuk melaksanakan dan menerapkan hukum-hukum yang objektif dimana termuat keadilan bagi umum walaupun sifatnya memaksa.

Dalam gagasan Herman Heller tentang Negara dan masyarakat berpendapat bahwa, manusia dengan pergaulan hidup antar manusia sesamanya dalam masyarakat memerlukan Negara. Oleh karena itu haruslah dilihat kenyataan Negara dalam masyarakat, dan dalam tugas kemasyarakatannya, maka dengan demikian masyarakat manusia merupakan keseluruhannya dan Negara sebagai bagian daripada keseluruhan itu. Karena itulah terdapatnya hubungan timbal balik dan saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lainnya antara Negara dengan masyarakat, dan tidak dapat dilepaskan antara masing-masing itu.

Dengan demikian Negara disini memiliki fungsi sebagai “territoriale gezagsorganistie” terhadap masyarakatnya.

Terkait dengan hal itu Plato berpendapat bahwa Negara ada karena banyaknya kebutuhan hidup serta keninginan manusia. Karena hal tersebut, maka maka manusi tidak mampu untuk dapat memenuhi kebutuhannya serta keinginannya itu secara masing-masing, oleh sebab itu sesuai dengan kecakapan manusia masing-masing mereka mendapat pembagian tugas sendiri-sendiri sehingga dengan dasar bersosial dan kerja sama, maka manusia dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya itu. Sebagaimana dinyatakanya bahwa: “The state arises out of the wants of men”; then, as we have many wants, and many persons are needed to supply them, one takes a helper of one purpose and another for another; and when these partners and helper are gathered together in one habitation the body of inhabitations is termed a state”.

Sehubungan dengan hal itu cara terjanya Negara menurut Aristoteles ialah, bahwa manusia berbeda dengan hewan, sebab hewan dapat hidup sendiri, sedangakan manusia sudah dikodratkan untuk hidup berhubungan satu sama lain, dimana manusia membutuhkan bantuan daripada manusi lainnya guna memenuhi kepentingan hidupnya. Sehingga manusia itu menurut kodratnya tidak dapat terlepas daripada kelompok manusia itu sendiri. Jadi manusi itu merupakan “Zoon Politicon”.

Dalam hal “Zoon Politicon” ini menurut P.J. Bouman di dalam bukunya yang berjudul “Algamene Maatschappijler” dengan alih bahasa oleh Sujono Sijitno berjudul “Ilmu Masyarakat Umum”, bahwa “Manusia baru menjadi manusia setelah ia hidup bersama dengan manusia lain”. Oleh karena itu manusia hidup bersama dengan manusi di dalam suatu kelompok dan penggabungan-penggabungan diantara diantara beberapa kelompok itu mengakibatkan timbulnya Negara.

D. Dasar Yuridis

Dalam hal ini Negara dianggap dan dititik-beratkan kepada kepribadian hukumnya, yaitu selaku badan hukum (rechtspersoon) dilapangan hukum publik atau selaku susunan tata hukum, yang membicarakan negara sebagai bangunan-bangunan(lembaga-lembaga) hukum atau Rechtsliche Institution dan dalam kaitannya mengenai suatu negara selaku “individu”

Tata hukum tersebut menurut Aristoteles dapat dikatakan logis bilamana didalamnya dijajalankan oleh hakim suatu peraturan yang bersifat mayor terhadap suatu perkara yang bersifat minor dan dijalankan peraturan itu sedemikian rupa sehingga memperoleh hasil atau konklusi yang memaksa. Konklusi “syllogisme” harus memaksa sebab konklusi lain tidak mungkin. Apabila terdapat konklusi lain maka itu dibuat karena kesalahan berpikir sehingga tidak logis.

Contoh:

a. Dalam hukum pidana:

- Premisse mayor : Barang siapa yang mencuri harus dihukum

- Premisse minor : A mencuri

- Konklusi : A harus dihukum

b. Dalam hukum perdata:

- Premisse mayor : Barang siapa membeli harus membayar

- Premisse minor : A membeli

- Konklusi : A harus membayar

Masih menurut Aristoteles bahwa Negara itu merupakan badan “iudicialis seu consiliativa” – yang hidup dan bebas, yang mempunyai tujuan tertinggi ialah mempertahankan perdamaian, memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk memperkembangkan dirinya secara bebas. Dan tugas utama dari Negara untuk mencapai tersebut adalah dalam hal membuat undang-undang demi kepentingan kesejahteraan rakyat.

Tak terlepas dari itu maka Hans Kelsen menganngap, bahwa Negara itu merupakan kesatuan tata hukum atau normordening (behorenordening) yaitu tata yang memberi pedoman terhadap tingkah laku manusia apa yang seharusnya dijalankan dan tidak dijalankan, sehingga dengan demikian Negara itu identik dengan hukum. Dan hukum tersebut merupakan kumpulan kaidah-kaidah (normen) yang bersifat memaksa.

Hukum itu harus ditaati dan menentukan pedoman terhadap tingkah laku manusia apa yang seharusnya dijalankan dan tidak dijalankan – normatis –, disebabkan merupakan perintah dan kehendak Negara atau Wille des Staates.

Dan Negara itu merupakan persekutuan susunan “Zwangsordnung”, yaitu yang dipertahankan oleh paksaan yang mengandung hak memerintah dan terdapatnya kewajiban manusia untuk mentaati perintahnya, mak Negara identik atau sama dengan hukum, sebab ketertiban Negara merupakan perseifikasi dari ketertiban hukum.

Berdasarkan pandangan tersebut atas hakekat Negara itu maka terjadilah apa yang disebut “Der Staat ist Zurrechtnuungpunkt” atau Negara itu merupakan titik pertanggung jawaban terhadap undang-undang dan tata hukum, jadi Negara adalah badan yang memberikan sanksi dan yang bertanggung jawab. Dengan demikian pembentukan Negara itu didasarkan kepada “Stufenbau des Rechts” atau pertanggaan hukum yang merupakan struktur pyramidal.


BAB III

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG NEGARA

Kata negara, yang dalam bahasa Arab merupakan padanan kata dawlah, sebenarnya merupakan kata asing. Artinya, kata ini tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Arab pada masa Jahiliyah maupun pada masa datangnya Islam. Wajar, jika kata tersebut—yang dipadankan dengan kata negara dalam bahasa Indonesia—tidak ditemukan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Ibn al-Mandzur (w. 711H/1211M), yang mengumpulkan seluruh perkataan orang Arab asli di dalam kamusnya yang amat terkenal, Lisân al-’Arab, juga membuktikan bahwa kata dawlah tidak pernah digunakan oleh orang-orang Arab dengan pengertian negara. Ia hanya mengatakan bahwa kata dawlah atau dûlah sama maknanya dengan al-’uqbah fî al-mâl wa al-harb (perputaran kekayaan dan peperangan); artinya suatu kumpulan secara bergilir menggantikan kumpulan yang lain. Kata dawlah dan dûlah memiliki makna yang berbeda. Di antaranya ada yang berarti al-idâlah al-ghâlabah (kemenangan). Adâlanâ Allâh min ‘aduwwinâ (Allah telah memenangkan kami dari musuh kami) merupakan arti dari kata dawlah (Ibn al-Mandzur, Lisân al-’Arab, jilid XI, hlm. 252).

Kepastian tentang kapan kata dawlah digunakan oleh orang Arab dengan pengertian negara tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, di dalam Muqaddimah-nya Ibn Khaldun (ditulis tahun 779H) terdapat kata dawlah dengan pengertian negara. Kata ini tercantum dalam bab fî ma’nâ al-khilâfah wa al-imâmah (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 170-210).

Meskipun kata dawlah dengan pengertian negara tidak tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunah, bukan berarti realitas dari kata tersebut tidak ada di dalam Islam. Alasannya, nash menggunakan kata lain yang unik, yaitu al-khilâfah, yang menunjukkan makna yang sama dengan daulah (negara). Di dalam banyak hadis dapat dijumpai kata al-khilâfah. Di antaranya adalah hadis berikut:

Dulu, urusan Bani Israel diatur dan dipelihara oleh para nabi. Jika seorang nabi wafat, segera digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, sepeninggalku tidak ada lagi nabi. Yang (akan) ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak. (HR Muslim dalam bab Imârah).

Walhasil, gambaran real yang dimaksud oleh kata dawlah (negara) telah disinggung oleh Islam dengan menggunakan kata lain, yaitu khilafah.

Ibn Khaldun juga menggunakan kata Dawlah Islâmiyyah (Negara Islam). Artinya, kata dawlah disifati dengan kata islamiyyah untuk menyebut al-khilâfah (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 180 dan 210-211). Ia memberikan sifat islamiyah (Islam) terhadap kata dawlah (negara) karena kata daulah (negara) memiliki arti umum, mencakup negara Islam dan bukan Islam. Akan tetapi, jika kata dawlah digandengkan dengan kata islamiyyah, maka artinya sama dengan al-khilâfah. Oleh karena itu, kata Daulah Islamiyah (Negara Islam) hanya memiliki satu makna, yaitu Khilafah. Di luar itu (selain Negara Islam), Ibn Khaldun sendiri cenderung menggunakan istilah al-mulk (kerajaan) atau ad-dawlah (negara) saja.

Sesungguhnya terdapat juga istilah lain yang banyak digunakan oleh para fukaha yang menggambarkan realitas yang sama dengan Daulah Islamiyah atau Khilafah, yaitu Dâr al-Islâm. Kata Dâr al-Islâm juga merujuk pada nash-nash syariat dan memiliki makna syar’î (al-haqîqah as-syar’iyyah). Kata tersebut dijumpai, antara lain, dalam hadis berikut:

Ajaklah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhi ajakanmu, terimalah mereka, dan cegahlah (tanganmu) untuk memerangi mereka. Kemudian, ajaklah mereka berhijrah dari negeri mereka (dâr al-kufr) ke negeri kaum Muhajirin (dâr al-Muhajirîn). Beritahukanlah kepada mereka, jika mereka melakukannya, mereka akan memperoleh hak-hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muhajirin. (HR Muslim).

Lawan kata dari dâr al-Islam adalah dâr al-kufr, dâr al-musyrik, atau dâr al-harb. Kata Dâr al-Islâm sendiri acapkali disamakan dengan kata Dâr al-Hijrah atau Dâr al-Muhâjirîn.

Dari sini, sebenarnya terdapat kesepadanan pengertian dan realitas yang sama pada kata Daulah Islamiyah, Khilafah, dan Dar al-Islam.

Selanjutnya, apa yang menjadi ciri sebuah negara yang tergolong sebagai Dar al-Islam, atau Daulah Islamiyah, atau Khilafah?

Imam Abu Hanifah menjelaskannya melalui pengertian yang terbalik, Beliau menjelaskan syarat-syarat sebuah dar al-kufr, yaitu:

1. Di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur

2. Bertetangga (dikelilingi) dengan negeri kufur

3. Kaum Muslim dan non-Muslim (dari kalangan ahlu dzimmah) tidak memperoleh jaminan keamanan dengan keamanan Islam (Dr. Muhammad Khayr Haykal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, jilid I, hlm. 662).

Sementara itu, Syaikh ‘Abdul Wabhab Khallaf, dalam bukunya, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, lebih gamblang mendefinisikannya sebagai berikut:

Dar al-Islam adalah dâr (daerah/negeri) yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum Islam, sementara sistem keamanan di dalamnya berada dalam sistem keamanan Islam, baik mereka itu Muslim ataupun ahlu dzimmah. (Dr. Muhammad Khayr Haykal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, , jilid I, hlm. 666).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan lagi bahwa suatu tempat/negeri dapat digolongkan sebagai Dar al-Islam jika memenuhi dua syarat:

1. Diterapkannya sistem hukum Islam

2. Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islâmiyah, jilid II, hlm. 260).

Beliau menambahkan lagi bahwa jika salah satu syarat dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, secara otomatis, tempat/negeri tersebut tidak bisa digolongkan sebagai Dar al-Islam.

0 comments:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment